Hari itu, karin merasa sangat lelah. Sejak pagi dia sudah bolak-balik dari lantai atas ke lantai bawah rumahnya. Dia sibuk membereskan semua perabotan rumah yang berdebu.
Sejak tinggal di rumah ini, Karin dan Darma memang sibuk membersihkan setiap sudut rumah. Beberapa perabotan mereka sejak awal kepindahan masih belum semuanya dirapikan.
Hari ini kesempatan Karin untuk merapikannya. Dia sudah bangun sejak subuh hari dan mulai membereskan barang-barang yang biasa dipakainya. Kebetulan Berry masuk sekolah agak siang, karena hari ini sekolahnya mengadakan acara manasik haji. Jadi yang biasanya berangkat sekolah pukul 07.30, kini Berry berangkat pukul 9.30 WIB.
"Lumayan bisa membereskan perabotan!" begitu pikiran Karin.
Jam menunjukkan pukul 07.00 WIB saat Karin selesai menata semua perabotan yang ada. Dia bergegas menuju dapur dan segera membuatkan sarapan. Dinyalakan kompor dan Karin mulai memasak air. Disiapkannya kopi plus krimer dalam gelas, teh hijau di gelas lain dan secangkir coklat panas. Itulah menu minuman pembuka di keluarga kecil ini.
Lain lagi, dalam hal makanan. Mereka biasa memulai sarapan dengan makanan khas Palembang yaitu pempek isi telur ataupun laksan. Laksan adalah menu makanan lain khas palembang yang serupa dengan pempek namun dalam sajian rebus yang dipadukan dengan kuah santan kental berwarna merah.
Bagi yang suka pedas dan berkuah, menu ini sangat cocok dinikmati selagi hangat. Namun bagi yang memiliki masalah lambung, sangat tidak disarankan. Karena laksan ini memiliki kuah santan super kental.
Dalam waktu kurang dari 30 menit Karin sudah menyelesaikan semua menu yang akan dihidangkan kepada seluruh anggota keluarga. Karin segera masuk ke kamarnya hendak memandikan Bayu.
Namun betapa kagetnya Karin saat melihat apa yang terjadi.
"Astagfirullah... Bayu!!" seketika Karin langsung mengangkat Bayu yang sedari tadi sudah tergeletak dibawah. Sepertinya Bayu terjatuh dari atas tempat tidur. Itu yang ada dalam pikiran Karin. Tapi yang aneh kenapa Bayi mungil ini tidak menangis. Dan Darma pun tidak sadar bahwa anak laki-lakinya tidak berada di sampingnya lagi.
Mendengar teriakan Karin tadi, Darma yang masih mengantuk mendadak terbangun. Ia segera duduk dan mencoba memahami apa yang terjadi.
"Kenapa Bun? Ada apa? Kenapa Kamu teriak begitu? Ayah kaget lho!" berondong Darma pada Karin.
"Kamu ga sadar kalau Bayu terjatuh? Bunda masuk ke kamar Bayu sudah dibawah. Kamu ga tahu yah?"
"Masak jatuh aku ga tahu sih, lagian harusnya dia menangis kan?"
"coba sini Ayah cek dulu!" sambung Darma
Karin masih tergugu, teringat kembali dia perkataan Berry tentang teman-teman Bayu di dalam kamar ini yang sedang berkumpul. Membayangkannya Karin menjadi semakin merinding. Bayu masih didekapnya erat, saat Darma mencoba mengambil Bayu dari pelukan Karin.
Karin mulai terisak membayangkan kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada Bayu. Darma mulai mengecek Bayu dengan seksama, dibukanya baju yang menyelimuti bayi mungil ini. Tak ada tanda-tanda bekas terjatuh sama sekali. Bahkan Bayi 3 bulan itu sesekali tertawa saat diajak bermain oleh Ayahnya.
Bersamaan dengan itu, Berry yang berusia 7 tahun lebih itu bangun dan masuk ke kamar mereka.
"Bun, adik Bayu kenapa? Apa dia habis main sama teman-temannya lagi?
Mendengar perkataan Berry, Karin makin merinding. Darma yang sadar berusaha menenangkan Karin.
" Huss, Kakak ga boleh ngomong begitu. Ini adik Bayu baru bangun"
"Iya yah, itu pasti adik Bayu habis main sama teman-temannya!"
Darma terdiam, dia masih terus saja mengecek kondisi Bayu. Tidak terlihat adanya tanda-tanda bekas terjatuh dari badan Banyu Biru.
"Bun, nanti kita cek saja Bayu ke dokter, biar lebih meyakinkan saja. Soalnya Ayah tidak melihat adanya tanda bekas jatuh pada Bayu!" saran Darma.
Karin mengangguk. Dia manut pada saran Darma. Demi meyakinkan dirinya bahwa bayi mungilnya ini tidak apa-apa.
****
Sepulang dari Dokter, Karin semakin yakin dengan adanya makhluk tak kasat mata di rumah ini. Pemeriksaan dokter mengatakan bahwa tidak ada tanda-tanda bekas terjatuh atau luka traumatis pada diri Bayu.
"Ibu tidak perlu khawatir, saya tidak melihat adanya bekas memar atau tanda-tanda bekas terjatuh pada bayi Banyu Biru. Semuanya baik, perkembangannya juga sangat baik!" Begitu terang dokter di rumah sakit.
Disatu sisi hal ini menenangkan Karin tapi di sisi lain, firasatnya mengatakan ada yang tidak beres terjadi di rumahnya.
Ini merupakan teror kedua yang cukup membuat Karin syok, sejak kejadian adanya makhluk yang mirip Darma waktu itu.
Semakin hari, Karin merasa suasana rumah mereka pun makin mistis. Tak jarang Bayu susah tidur di malam hari. Hingga membuat Karin kewalahan sendiri. Karin mendapati Bayu sering tidur tak tenang. Sudah berbagai cara dipakai Karin agar Bayu bisa tenang tidurnya, mulai dari mengganti popok, mengganti baju yang dipakai hingga selalu stok sufor yang tidak pernah putus.
Dan yang paling membuat Karin ngeri adalah perlakuan aneh yang terjadi pada Bayu. Banyu Biru alias Bayu malah suka melotot sendiri, hingga membuat Karin ngeri. Lain lagi ketika Karin mulai histeris ketakutan, Bayu malah membalasnya dengan tertawa renyah.
Karin tidak sanggup lagi, dia segera mengajak Darma berdiskusi untuk mencari solusi. Apakah harus pindah rumah saja atau bagaimana.
"Pindah rumah itu ga mungkin Bun, rumah ini sudah di sewa pertahun oleh kantor Ayah bekerja. Jika Ayah meminta pindah dengan alasan yang sulit dibuktikan, tentu konsekuensinya ayah bukan saja harus mengganti biaya sewa rumah ini, namun biaya sewa untuk rumah baru pun tidak akan ditanggung oleh kantor. "
" Baiklah, kalau pindah rumah tidak memungkinkan, berarti kita pergi ke Ustadz saja. Agar segera dicarikan solusi dan akar permasalahannya." Karin mencoba memberi solusi terbaik.
Atas anjuran tetangga, Karin dan Darma akhirnya mencari orang pintar. Ada yang memberikan referensi bahwa ada orang pintar namanya Mbah Ageng. Menurut cerita tetangga sekitar, mbah Ageng memang biasa menangani kasus seperti ini. Berbekal alamat dari tetangga, Darma dan Karin segera menuju kediaman Mbah Ageng untuk mendapat pencerahan.
*****
Sepulang dari kediaman mbah Ageng, raut wajah Karin bukannya sumringah. Tapi malah menunjukkan semburat kesedihan yang mendalam. Karin duduk termenung sambil terus menahan air matanya yang hampir jatuh, tiap kali melihat Bayu.
" Bagaimana, Bun? Apa keputusan Bunda?" Darma membuka percakapan malam itu, sepulang dari kediaman mbah Ageng.
"Tidak mungkin kulakukan itu, aku terlalu menyayangi Bayu! Akan kulakukan sekuat tenaga demi apapun, untuk tetap bersama Bayu!"
"Tapi... Bunda tahu kan konsekuensi yang dikatakan oleh si Mbah tadi?"
Karin mengangguk.
Tak mungkin Karin melakukan hal yang sangat berat itu. Si Mbah menganjurkan, jika ingin kondisi keluarganya kembali tenang tanpa gangguan, maka Bayu harus dikembalikan pada orangtua kandung. Menurut sang Dukun, si bayi memiliki 'penjaga' yang diberi oleh keluarga kandungnya. Dan hanya keluarga kandunglah yang bisa 'membuangnya' kembali.
Karin dilema apa yang harus dilakukan. Dia tak mungkin melakukannya. Apalagi harus menyerahkan pada keluarganya lagi. Dia sudah berjanji untuk merawat Bayu seperti anaknya sendiri. Karin tak rela jika Bayu harus dikembalikan pada orangtuanya, terlebih orang tuanya sudah tiada.
Darma gelisah pun semakin gelisah dengan apa yang akan dipilih Karin. Namun Darma tetap memaksa Karin mengembalikan Bayu pada neneknya. Karin terdesak. Apa yang harus dilakukannya? Memilih hidup tenang tanpa gangguan makhluk astral atau berpisah dari Bayu? Pilihan yang sulit.
*Bersambung ke bagian 7*
Wuih ada nyempil laksa, kangen kali sama rasanya :D
BalasHapushua dedek bayu kasian terombang ambing :/
Tau juga yaa?? Cuss bikin yuk, aku juga kangen ini
Hapus